AKU MINTA DIPOLIGAMI

bagaimana perasaan wanita yang dipoligami

Oleh: Dyah Ayu Fitriana

@fitri_yesss


"Aku minta dipoligami" katanya padaku. Aku tercekat, es degan kesukaanku tiba-tiba berasa hambar, sama persis dengan perasaanku ketika mendengar kata itu.

 "Mengapa?" satu-satunya kata protes yang ingin segera kulontarkan. Tapi, ah.. Tau apa aku dengan seluk beluk kehidupan orang. Nyatanya kata itu tetap tidak lulus sensor dari tenggorokanku. Aku takut ada hati tegar yang kubuat terluka.

"Sejak kapan?" tanyaku.

"Beberapa bulan yang lalu." jawabnya enteng. Jika kau tanya padaku apakah ia bahagia atau sedih, jujur aku tak mampu menganalisanya. Sudah kubilang, bukan, tak ada yang mampu menerka bahasa tubuh wanita. Bukankah dulu kau juga sering melihat ibumu tersenyum menyuapkan sepuluk nasi, sedang sebenarnya hatinya menangis.

"Lantas, kau menikmatinya?" lanjutku.

"Kenapa tidak, Tuhan menjanjikanku syurga." senyumnya mengembang seiring dengan ciutnya hatiku. Bagiku, seorang gadis yang sekedar menanti kekasihnya bertandang, tak ada ingin atau sekedar angan untuk membagi cinta. Bukan tak sudi, namun lebih kepada ketidakmampuan menahan gejolak perasaan. Yah sebagaimana Tuhan yang Maha Pencemburu, aku pun boleh mempunyai rasa itu kan?

Kusudahi perbincangan kala itu, aku tidak mau terlalu jauh. Wanita selalu punya seribu perasaan yang tak dapat kuterka, meski aku pun semacamnya. Tapi, menyalahkan, menghakimi, hanya akan melahirkan perasaan sesal dan melahirkan luka. Aku hanya perlu mendengarkan, satu hal lagi bung, wanita tak membutuhkan solusi untuk segudang ceritanya. Ia hanya butuh telinga untuk mendengarkan keluhan kesahnya, dan pundak untuk mencurahkan tangisnya.

Lalu yang kutakutkan tiba. Mungkin memang salahku karena saat itu tak mendengar curahan hatinya dengan seksama.

"Mengapa kau ceritakan hal itu pada yang lain? Aku bisa bungkam, tapi mereka tidak. Aku dapat menyembunyikan ketidaksetujuan, tapi mereka tidak. Aku dapat memandangmu seperti sedia kala, tapi tidak dengan mereka." bisikku yang memang tak akan pernah sampai padanya.

Aku mulai tak suka dengan pandangan iba mereka, aku mulai benci dengan bisik-berisik mereka. Mengapa manusia mudah sekali berubah? Mengapa mereka sering begitu gampang mengambil kesimpulan dan menghakimi seseorang?

"Kandungannya sedang tidak sehat." oceh yang lain. Aku tidak terlalu peduli, sampai ia sendiri benar-benar mendatangiku, bercerita tentang sakitnya yang belum kunjung sembuh. Saat itu aku memboncengnya, ke sebuah toko obat kecil di sudut kota. Kegelisahan menemaniku. Beribu gagasan dari hatiku kuhiraukan.

 "Apa karena ini ia minta dipoligami?" tapi aku berjanji tak akan membiarkan pertanyaan ini keluar dari mulutku. Aku hanya diam. Sampai dia keluar dari toko obat itu, menenteng kresek sambil tersenyum seperti biasanya. Wanita memang rumit. Ada ribuan makna dari senyumnya, seperti ada ribuan alasan dari satu saja langkahnya.

cek web www.darunnun.com

Pondok Pesantren Darun Nun Malang

Comments

Popular Posts