Segelas kopi



Segelas kopi yang kuseduhkan tadi tak sedikitpun disentuhnya. Aku tahu ini berarti ada hal yang menggelayut difikirannya, membebani hatinya.
"Kenapa tak diminum, Kang?"
Kucoba duduk sambil membersihkan meja dihadapannya, biarlah meja itu memang sudah bersih, barangkali dengan simbol ini suamiku faham bahwa aku berkeinginan untuk membersihkan kesusahan hatinya.
"Iya nanti kuminum." balasnya sembari memaksakan senyum. Kuambilkan perkakas yang selalu digunakannya setiap pagi, sebelum ke sekolah. Sebuah bolpen pemberian abah waktu Kang Kartono masih remaja dulu, dan buku catatan yang kubelikan, hadiah karena ia senang menuliskanku puisi.

Semua ini pasti ada sangkut pautnya dengan Sarno. Anak pertama kami yang sungguh susah diatur. Malam kemarin semua warga berkumpul dibalai dusun. Sarno berdiri di depan dengan dua orang lelaki yang membekap tangannya. Aku memeluk Kang Kartono, takut melihat suasana yang seakan ingin menerkam kami bulat-bulat.
"Bapak ini kan guru, katanya kami harus mendidik anak dengan didikan terbaik. Ealaah anak e dewe yang bikin onar." teriak salah satu warga. Seorang warga maju, menunjuk-nunjuk muka suamiku.
"Awas kalau ponakanku tidak selamat. Akan kubunuh semua keluargamu."
Sarno berusaha memberontak, namun gagal. Aku dan mas kartono hanya diam membeku. Sepertinya kami datang hanya untuk menerima makian dan sumpah serapah. Pak Kades tak berhasil menjalankan tujuan perkumpulan dengan baik dan mufakat. Akhirnya kami pulang dengan membawa luka yang menganga, lukaku jangan kau tanya. Tapi Mas Kartono, menyimpan perih yang sangat dalam hatinya. Sama perihnya dengan tulisan yang kutemukan dalam buku catatan itu kemudian.

Menjadi guru, sesuatu yang paling menyusahkan hatiku
Masih terdengar lirih suara abah di surau panggung saat aku usai Mengaji kala itu
"Mengajarlah Le, dawuh Kanjeng Nabi itu pekerjaan yang sangat mulia."
Aku menurut saja
Kukira cukup masuk kelas, memberikan materi kemudian keluar minum kopi
Ternyata tidak
Guru adalah pekerjaan yang paling mengerikkan di dunia
Pekerjaan yang menggelayut kemanapun aku berada
Pekerjaan yang menanggalkan namaku, untuk kemudian diganti dengan panggilan "Pak Guru"
Kata mereka, pak guru itu tidak boleh salah
Kalau salah bagaimana nanti muridnya
Iya kalau petani, bergumul dengan padi
Tak perlu mengajarkan nilai dan moral, karena padi tak perlu tau hal yang demikian. Ia bisa gemuk hanya dengan pupuk cukup dan penjagaan dari hama yang menyerang.
Iya kalau tukang bangunan, bercanda dengan tumpukan batu bata dan adonan pasir
Batu dan pasir tak pernah meminta fatwa, pun tak hendak mendurhakai tukangnya
Ditaruh lurus ia diam saja, ditata miring ia nurut saja
Ah guru memang pekerjaan paling mengerikkan di dunia
Abah mungkin lupa bercerita

Kututup catatan itu pelan, menaruhnya kembali bersama bolpen pemberian abah ke atas almari. Setiap kata cacian malam itu mungkin tak mampu dilupakannya. Kicari ia ke bilik tidur, masih duduk di atas dipan, tak kunjung mengenakan seragam sekolahnya. Aku duduk, membekap lututnya. "Kang, jangan kau tanggung sendiri sedihmu. Kang Kartono sudah berusaha yang terbaik, mendidik dengan terbaik. Jika saja orang-orang tahu, mesti tak akan lah mereka bicara sekasar itu. Anggap saja Sarno ini ujian dari Gusti Allah untuk kita. Adakah hal itu dinamakan buruk jika Gusti Allah sudah memilihkannya untuk kita?" Kang Kartono mengusap rambutku, banyak kalimat yang ia ucapkan dari usapan tangannya. Aku kemudian bangkit, mengambilkan setelan coklat baju seragamnya.
"Ayo Kang, anak-anak sudah menunggumu di sekolah."

Comments

Popular Posts